Presiden Pertama, Ir. Soekarno
(1945-1966)
Presiden pertama
Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar,
Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya,
beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati
mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri
Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita
turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..
Masa kecil
Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD
hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said
Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan
sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah
menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke
Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi
yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau
merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia)
pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda,
memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan
kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat,
beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu
membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan.
Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus
memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende,
Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui
perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,
Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya
Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945
Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang
pertama.
Sebelumnya, beliau
juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi)
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara.
Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian
berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan
G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas
pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat
Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia
meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan
di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah
menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”
Presiden Kedua,
Soeharto (1966-1998)
Soeharto adalah
Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal
8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai
pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.
Soeharto masuk
sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula
disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes,
lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul.
Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan
di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri
tani.
Sampai akhirnya
terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada
tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun
1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.
Perkimpoian Letkol
Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo.
Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam
putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang
Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang
Adiningsih.
Jenderal Besar
H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan
politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara
KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan
komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Pada tahun 1949,
dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan
penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar
Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian
Barat).
Tanggal 1 Oktober
1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat.
Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai
Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto
menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya,
mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno.
Karena situasi
politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS,
Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku
Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa
lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
residen RI Kedua
HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar
yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu
meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27
Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya
Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky
Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter
Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul
13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian sekira
pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju
kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung
jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta
pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan
itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi
tertabrak.
Di sepanjang jalan
Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan
kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga pecah begitu
rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki
Jalan Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).
Seementara itu,
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan
sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan
pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di
Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa
yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Presiden Ketiga,
Habibie (1998-1999)
Presiden ketiga
Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Pare-Pare, Sulawesi
Selatan, pada 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan
bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo.
Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini
dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.
Masa kecil Habibie
dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas
berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie
yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan bapaknya yang
meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung. Tak lama
setelah bapaknya meninggal, Habibie pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di
Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol
prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok
favorit di sekolahnya.
Setelah tamat SMA
di bandung tahun 1954, beliau masuk Universitas Indonesia di Bandung (Sekarang
ITB). Beliau mendapat gelar Diploma dari Technische Hochschule, Jerman tahun
1960 yang kemudian mendapatkan gekar Doktor dari tempat yang sama tahun 1965.
Habibie menikah tahun 1962, dan dikaruniai dua orang anak. Tahun 1967, menjadi
Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut Teknologi Bandung.
Langkah-langkah
Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit
pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi
Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu
menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah
hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat
Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh
Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke
Indonesia.
Di Indonesia,
Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10
perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan
disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto.
Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8
UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor
Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau
pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.
Sebagian Karya
beliau dalam menghitung dan mendesain beberapa proyek pembuatan pesawat terbang
:
* VTOL ( Vertical
Take Off & Landing ) Pesawat Angkut DO-31.
* Pesawat Angkut
Militer TRANSALL C-130.
* Hansa Jet 320 (
Pesawat Eksekutif ).
* Airbus A-300 (
untuk 300 penumpang )
* CN – 235
* N-250
* dan secara tidak
langsung turut berpartisipasi dalam menghitung dan mendesain:
• Helikopter
BO-105.
• Multi Role
Combat Aircraft (MRCA).
• Beberapa proyek
rudal dan satelit.
Sebagian Tanda
Jasa/Kehormatannya :
* 1976 – 1998
Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/ IPTN.
* 1978 – 1998
Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
* Ketua Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi / BPPT
* 1978 – 1998
Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero).
* 1978 – 1998
Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam/ Opdip Batam.
* 1980 – 1998
Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan Keamanan (Keppres No. 40, 1980)
* 1983 – 1998
Direktur Utama, PT Pindad (Persero).
* 1988 – 1998
Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis.
* 1989 – 1998
Ketua Badan Pengelola Industri Strategis/ BPIS.
* 1990 – 1998
Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia/lCMI.
* 1993 Koordinator
Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
* 10 Maret – 20
Mei 1998 Wakil Presiden Republik Indonesia
* 21 Mei 1998 –
Oktober 1999 Presiden Republik Indonesia
Presiden Keempat,
Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Gus Dur adalah
putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa
Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan
“darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari,
pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah
adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek
dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU
setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu
dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949,
ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat
sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke
Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang
terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah
dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri
agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama
Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan
dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di
rumahnya.
Sejak masa
kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan
mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung
jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya
mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu
tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami
kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian
ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam
kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan
perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung
keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab
dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius.
Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita
silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca
negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang
pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur
pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran
lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.
Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah
sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri
Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus
Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah
pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal
di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di
Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis
untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkimpoiannya dilaksanakan
ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman
Pendidikan
Pertama kali
belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat
serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia
lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke
Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les
privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang
telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah
pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang
biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur
dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai
musik klasik.
Setelah lulus dari
Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada
tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil
mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik
Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula
pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup
dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah
Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di
SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum
Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi
bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Setamat dari SMEP
Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah.
Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan
guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan
ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah
bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan
keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa
seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran.
Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor
dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik
yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar
yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai
menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan
semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping,
jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas
sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi
di Pesantren Tegalrejo.
Setelah
menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke
Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20
tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi
seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur
berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan
ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai
di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas
al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di
sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah
ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering
mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan
toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Meski demikian,
semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari
untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar
doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua
promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut.
Perjalanan Karir
Sepulang dari
pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi
guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin
Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris
Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis.
Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat
tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian
banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai
bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya,
kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Pada tahun 1974
Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu
Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering
mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan
dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur
terlibat dalam kegiatan LSM.
Pada tahun 1979
Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara
pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di
sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah
agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan
disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di
lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap
‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus
PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film
Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984
Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang
diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada
muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar
ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa
Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat
presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak
hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu,
mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan
kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan
kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
Presiden Kelima,
Megawati (2001-2004)
Presiden Republik
Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947.
Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8
dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari
Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati,
pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan
dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.
Pada suatu tugas
militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat
militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil
dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah
dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan
keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani.
Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa
kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya
Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering
ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.
Wanita bernama
lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD
hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua
Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung
(1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati
lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega — panggilan akrab para
pendukungnya — tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati
sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan
dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun
1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah
seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak
suara.
Masuknya Megawati
ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya
untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya.
Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak
banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun
terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai
Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Tetapi, kehadiran
Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa
beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun
memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka beliau
memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat
tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau
tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik.
Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat
mengagetkan pemerintah pada saat itu.
Proses naiknya
Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan
berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi
Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan
Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara
telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu.
Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum
PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah
menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya,
pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah
Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada
tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah
ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan.
Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI
di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh
pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap
berusaha mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang
didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP
PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996
kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega.
Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap
langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap
Mega itu, mengundang empati dan simpati dari masyarakat luas.
Mega terus
berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan
Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah
mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega
tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah
nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan
bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga
puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling
patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada
SU-MPR 1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi
kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan
Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua
tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan
Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid.
Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa
jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan
presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi
presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi
Presiden RI ke-6.
Presiden Keenam,
Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Ini dia Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden RI ke-6. Berbeda dengan presiden
sebelumnya, beliau merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh
rakyat dalam proses Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004. Lulusan
terbaik AKABRI (1973) yang akrab disapa SBY ini lahir di Pacitan, Jawa Timur 9
September 1949. Istrinya bernama Kristiani Herawati, merupakan putri ketiga
almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.
Pensiunan jenderal
berbintang empat ini adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan Sitti
Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan Satu.
Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes Tremas.
Beliau dikaruniai dua orang putra yakni Agus Harimurti Yudhoyono (mengikuti dan
menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus dari Akmil tahun 2000 dengan meraih
penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan terbaik
SMA Taruna Nusantara, Magelang yang kemudian menekuni ilmu ekonomi).
Pendidikan SR
adalah pijakan masa depan paling menentukan dalam diri SBY. Ketika duduk di
bangku kelas lima, beliau untuk pertamakali kenal dan akrab dengan nama Akademi
Militer Nasional (AMN), Magelang, Jawa Tengah. Di kemudian hari AMN berubah
nama menjadi Akabri. SBY masuk SMP Negeri Pacitan, terletak di selatan
alun-alun. Ini adalah sekolah idola bagi anak-anak Kota Pacitan. Mewarisi sikap
ayahnya yang berdisiplin keras, SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa
kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (Akabri) setelah lulus SMA akhir tahun 1968. Namun, lantaran
terlambat mendaftar, SBY tidak langsung masuk Akabri. Maka SBY pun sempat
menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 November Surabaya (ITS).
Namun kemudian,
SBY justru memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) di
Malang, Jawa Timur. Sewaktu belajar di PGSLP Malang itu, beliau mempersiapkan
diri untuk masuk Akabri. Tahun 1970, akhirnya masuk Akabri di Magelang, Jawa
Tengah, setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. SBY satu angkatan
dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa
pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol. Terbukti,
belaiu meraih predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan
lencana Adhi Makasaya.
Pendidikan
militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia,
AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS
(1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama
(1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan
Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and
General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA
diperoleh dari Webster University AS. Perjalanan karier militernya, dimulai
dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan
Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma,
Kostrad) tahun 1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit.
Batalyon Linud 330
merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade Infantri Lintas Udara 17
Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum dalam berbagai operasi militer.
Ketiga batalyon itu ialah Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma,
Batalyon Infantri Lintas Udara 328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas
Udara 305/Tengkorak. Kefasihan berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti
pendidikan lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di
Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia, 1975.
Kemudian sekembali ke tanah air, SBY memangku jabatan Komandan Peleton II Kompi
A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-1977.
Beliau pun memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur.
Sepulang dari
Timor Timur, SBY menjadi Komandan Peleton Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad
(1977). Setelah itu, beliau ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17
Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981),
dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982). Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY
kembali mendapat kesempatan sekolah ke Amerika Serikat. Dari tahun 1982 hingga
1983, beliau mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS,
1982-1983 sekaligus praktek kerja-On the job training di 82-nd Airbone
Division, Fort Bragg, AS, 1983. Kemudian mengikuti Jungle Warfare School,
Panama, 1983 dan Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984, serta Kursus
Komando Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan SBY menjabat Komandan Sekolah
Pelatih Infanteri (1983-1985)
Lalu beliau
dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan Paban Madyalat
Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan
Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad
1989. SBY pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di
Dinas Penerangan TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain membuat naskah
pidato KSAD Jenderal Edi Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat menjabat Panglima
ABRI, beliau ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi Koordinator Staf Pribadi
(Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993).
Lalu, beliau
kembali bertugas di satuan tempur, diangkat menjadi Komandan Brigade Infantri
Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang I/Kostrad (1993-1994) bersama dengan
Letkol Riyamizard Ryacudu. Kemudian menjabat Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan
Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995). Tak lama kemudian, SBY
dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB (1995).
Beliau menjabat sebagai Kepala Pengamat Militer PBB (Chief Military Observer
United Nation Protection Force) yang bertugas mengawasi genjatan senjata di
bekas negara Yugoslavia berdasarkan kesepakatan Dayton, AS antara Serbia,
Kroasia dan Bosnia Herzegovina. Setelah kembali dari Bosnia, beliau diangkat
menjadi Kepala Staf Kodam Jaya (1996). Kemudian menjabat Pangdam II/Sriwijaya
(1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang
Istimewa MPR 1998) sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI
(1998-1999).
Sementara, langkah
karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun
lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan
dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama kemudian,
SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur
memintanya menjabat Menkopolsoskam. Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden
Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet
Gotong-Royong. Tetapi pada 11 Maret 2004, beliau memilih mengundurkan diri dari
jabatan Menko Polkam. Langkah pengunduran diri ini membuatnya lebih leluasa
menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan
nasional. Dan akhirnya, pada pemilu Presiden langsung putaran kedua 20
September 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla meraih kepercayaan
mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di attas 60 persen. Dan pada
tanggal 20 Oktober 2004 beliau dilantik menjadi Presiden RI ke-6.
Berikut ini data
lengkap tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Nama : Jenderal
TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono
Lahir : Pacitan,
Jawa Timur, 9 September 1949
Agama : Islam
Jabatan : Presiden
Republik Indonesia ke-6
Istri : Kristiani
Herawati, putri ketiga (Alm) Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo
Anak : Agus
Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono
Ayah : Letnan Satu
(Peltu) R. Soekotji
Ibu : Sitti
Habibah
Pendidikan :
* Akademi Angkatan
Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
* American
Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
* Airbone and
Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
* Infantry Officer
Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
* On the job
training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
* Jungle Warfare
School, Panama, 1983
* Antitank Weapon
Course di Belgia dan Jerman, 1984
* Kursus Komando
Batalyon, 1985
* Sekolah Komando
Angkatan Darat, 1988-1989
* Command and
General Staff College, Fort Leavenwort, Kansas, AS
* Master of Art
(MA) dari Management Webster University, Missouri, AS
Karier :
* Dan Tonpan Yonif
Linud 330 Kostrad (1974-1976)
* Dan Tonpan Yonif
305 Kostrad (1976-1977)
* Dan Tn Mo 81
Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
* Pasi-2/Ops
Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
* Dan Kipan Yonif
Linud 330 Kostrad (1979-1981)
* Paban Muda Sops
SUAD (1981-1982)
* Komandan Sekolah
Pelatih Infanteri (1983-1985)
* Dan Yonif 744
Dam IX/Udayana (1986-1988)
* Paban Madyalat
Sops Dam IX/Udayana (1988)
* Dosen Seskoad
(1989-1992)
* Korspri Pangab
(1993)
* Dan Brigif Linud
17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
* Asops Kodam Jaya
(1994-1995)
* Danrem
072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
* Chief Military
Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal
November 1995)
* Kasdam Jaya
(1996-hanya lima bulan)
* Pangdam
II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
* Ketua Fraksi
ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
* Kepala Staf
Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
* Mentamben (sejak
26 Oktober 1999)
* Menko Polsoskam
(Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid)
* Menko Polkam
(Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri) mengundurkan diri 11 Maret 2004
Alamat : Jl.
Alternatif Cibubur Puri Cikeas Indah No. 2 Desa Nagrag Kec. Gunung Putri Bogor
16967